A.
As sunnah pada zaman khulafaur
rosyidin
As sunnah di masa khulafaur-rasyidin
ini senantiasa menjadi bahan pembahasan dari waktu ke waktu karena kedudukannya
yang agung di sisi Al Qur’an. Para sahabat pun sangat
berhati-hati dalam menerima riwayat agar tidak salah dalam pemahaman dan
pengamalan. Pernah terkisah Abdullah bin Umar meriwayatkan dari Nabi saw bahwa,
“Mayat itu disiksa karena tangisan keluarganya”. Mendengar berita tersebut
Ummul Mu’minin ‘Aisyah menyatakan bahwa Ibnu Umar tidak mengambil hadits
sebagaimana mestinya dan tidak pas lafadznya. Karena menurut kejadiannya
memberitakan bahwa Rasulullah saw lewat pada jenazah seorang wanita Yahudi yang
ditangisi oleh keluarganya, kemudian beliau bersabda, “Mereka menangisinya,
sedangkan ia disiksa di dalam kuburnya”. Jadi siksa itu bukanlah karena tagisan
keluarganya, dan siksa yang diterima setiap orang mati itu bukanlah disebabkan
oleh tangisan, sebagaimana kesimpulan yang ditarik dari lafadz-lafadz hadits
riwayat Ibnu Umar. Hadits tersebut -menurut riwayat ‘Aisyah- adalah berita
suatu kasus yang kemudian disampaikan oleh Nabi saw sebagaimana yang beliau
dengar dan lihat. Jadi hal tersebut tidak mengandung hukum tertentu bagi
syari’at.
I.
Keadaan politik pada masa itu
Nabi Muhammad SAW selain menjadi kepala agama beliau juga menjadi kepala
pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang di patuhi di
kota madinah, sebelum nya tidak ada kekuasaan politik di kota tersebut[1].
Beliau wafat tahun 632 M, nabi Muhammad saw tidak meninggalkan wasiat
tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat
islam. Belum jenazah di makamkan umat islam masih di bingungkan denganpengganti
beliau dalam memimpin umat islam dalam politik. Para sahabat memusyawarahkan
siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah berjalan cukup a lot
karena masing-masing pihak merasa berhak menjadipemimpin umat islam. Tapi pada
akhirnya abu bakar lah yang terpilih.
Abu bakar menjadi khalifah hanya 2 tahun. Pada tahun 634 ia meninggal
dunia. Masa secepat itu habis untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam
negeri yaitu sikap menetang mereka dan tidak mau tunduk lagi terhadap
pemerintahan madinah. Mereka menganggap, bahwa perjanjian yang dibuat nabi
Muhammad saw dengan sendirinya batal setelah nabi wafat, akhirnya terjadi
peperangan di kalangan umat islam sendiri yang disebut perang Riddah[2]. Dalam perang tersebut Khalid ibn
al-walid yang paling berjasa.
Pada masa khalifah abu bakar sebagaimana masa rasulullah kekuasaan yang di
jalankan bersifat sentral. Kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif
terpusat di tangan khalifah. Abu bakar meninggal dunia, kemudian ia digantikan
oleh tangan kanannyayakni umar bin khattab, ia bermusyawarah dengan para pemuka
sahabat kemudian mengangkat umar dengan maksud untuk mencegah kemungkinan
terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat islam.
Umar bin khattab menjadi khalifah
selama 10 tahun (13-23 H/634-644 M), di zaman beliau perluasan daerah terjadi
pada tahun 635 M ibu kota syiria, damaskus jatuh di bawah kekuasaan islam
setahun kemudian seluruh daerah syiria. Tahun 641 M ibu kota Mesir, Iskandaria
dan mosul dekat Hirah di Iraq, begitu juga tahun 637 M Al-Qadisiyah, sebuah
kota Al-Madain[3].
Karena perluasan daerah terjadi begitu cepat, maka umar segera mengatur
administrasi Negara dengan mencontoh milik Persia. Pada masanya mulai di atur
dan ditertibkan system pembayaran gaji dan pajak tanah, untuk menjaga keamanan
dan ketertiban, maka kepolisian di bentuk. Umar juga mendirikan Baitul Mal.
Masa jabatannya berakhir dengan kematian, dia di bunuh oleh seorang budak yang
bernama lu’luah. Untuk menemukan penggantinya, ia menunjuk 6 orang yaitu,
Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad Ibn Abi Waqas Dan Abdur Rahman Bin ‘Auf.
Untuk memilih salahsatu dari mereka. Akhirnya ustman terpilih dengan melalui
persaingan yang agak ketat dari Ali bin Abi Thalib.
Pada masa pemerintahan ustman (644-655 M) wilayah ekspansi islam meliputi, Armenia
, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, yakni
Transoxania dan Tabaristan. Beliau menjadi khalifah pada usia 70 tahun dan
memimpinya selama 12 tahun. Pada akhir pemerintahannya, umat islam banyak yang
kecewa dan tidak puas, sehingga pada tahun (35 H/ 655 M) penyebab meninggalnya
ustman yakni dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri oleh orang-orang kecewa
tersebut.
Salah satu pemicu terjadinya
pembunuhan usman adalah beliau mengangkat kelarganya sendiri dalam kedudukan
tinggi, diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah yang pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan usman
hanya menyandang gelar khalifah[4]. Setelah banyak anggota keluarganya yang
duduk dalam jabatan-jabatan penting, ustman laksana boneka di hadapan
kerabatnya.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pada masanya tidak ada kegiatan-kegiatan
penting. Ustman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang
besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota, dia juga membangun
jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluar masjid nabi di Madinah.
Setelah ustman wafat, mayrakat berami-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib
sebagai kholifah. Ali memerintah hanya 6 tahun, selama masa pemerintahannya ia
menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya
yang dapat dikatakan stabil, ali memecat para gubernur yang di angkat oleh
ustman, dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena ketelledoran
mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang di hadiahkan ustman kepada penduduk
dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada Negara, dan memakai kembali system
distribusi pajak tahunan diantara orang-orang islam sebagaimana pernah
diterapkan umar.
Tidak lama setelah itu ali bin abi thalib menghadapi pemberontakan thalhah,
zubair, dan Aisyah. Alasan mereka karena ali tidak mau menghukum para pembunuh
ustman, ali sebenarnya ingin menghindari peperangan. Dia mengirim surat kepada
thalhah dan zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara
secara damai. Namun, ajakan tersebut akhirnya ditolak. Akhirnya pertempuran
terjadi yang di kenal dengan sebutan perang jamal. Ali berhasil membunuh zubair
dan thalhah sedangkan ‘aisyah di tawan dan di kirim kembali ke madinah.
Bersamaan dengan itu,
kebijakan-kebijakan ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur
di Damaskus, muawwiyah. Ali bergerak
dari kufah menuju Damaskus dengan sejumlah tentara besar. Pasukannya bertemu
dengan pasukan muawwiyah di Shiffin, terjadi peperangan disini yang dikenal
dengan nama, perang Shiffin. Perang ini di akhiri dengan tahkim (Arbitrase)
tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya
golongan ketiga, al-Khawarij. Akibatnya di ujung maa pemerintahan Ali umat
islam terpecah menjadi 3 kekuatan politik, yaitu muawwiyah, syiah, dan
khawarij. Munculnya kelompok khawarij menyebabkan tentara ali semakin lemah,
sementara posisi muawwiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramdhan 40 H, ali
terbunuh oleh anggota khawarij.
Kedudukan ali kemudian di jabat oleh anaknya hasan selama beberapa bulan.
Namun, karena hasan lemah sementara muawwiyah semakin kuat, maka hasan membuat
perjanjian damai. Perjanjian ini membuat umat islam menjadi satu di bawah
kepemimpinan Muawwiyah bin Abi Sufyan dan dalam tahun tersebut di kenal sebagai
tahun Jama’ah. Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut masa Khulafaur
Rashidin
B.
Metode Sahabat dalam meriwayatkan Hadis
Setelah nabi Muhammad SAW wafat (11 H = 632 M), kendali kepemimpinan umat
islam berada ditangan sahabat Nabi yang dikenal dengan sebutan al Khulafaur
ar Rosyidun. Periwayatan hadis pada zaman sahabat ini dapat
diklasifikasikan pada dua masa, yakni ; masa Khulafaur Rosyidin atau
sahabat besar dan masa sesudah al Khulafaur ar Rosyidun atau
sahabat kecil.
a.
Masa al Khulafaur ar Rosyidun
Pada masa pemerintahan al
Khulafaur ar Rosyidun, periwayatan hadis semakin ketat.Hal ini dilakukan
untuk menjaga hadis nabi dari usaha-usaha negatif orang-orang yang hendak
memusuhi agama islam dan merusak ajarannya. Untuk mengantisipasi usaha mereka, khulafaur rosyidin mengambil beberapa
tindakan, yaitu ;
1.
Membatasi dan Mereduksi periwayatan
Tindakan yang cukup menonjol pada masa awal pemerintahan Abu Bakar dan Umar
adalah usaha mereka dalam membatasi periwayatan hadis. Mereka berusaha menjahui
dan memperbanyak periwayatan dengan mendasarkannya pada hadis nabi ;
“wahai manusia jahuilah
(olehmu) memperbanyak (periwayatan) hadis dariku barang siapa yang mengatakan
(sesuatu) dengan menyandarkannya kepadaku, maka katakanlah secara benar.barang
siapa yang berkata atas namaku sesuatu yang tidak pernah aku katakan maka
hendaklah ia menyiapkan tempatnya dineraka.”
Mereka memandang dengan banyaknya meriwayatkan hadis kemungkinan terjadinya
kesalahan dan lupa sangat besar. Sahabat lain yang terkenal dalam hal ini
adalah Abu Bakar, Imran bin Al husain, Abu Ubaidah, dan Al Abbas bin Abdul Al
muthollib.
2.
Berhati-hati dan ketat dalam menerima dan
menyampaikan hadis
Satu hal lagi yang
menjadi ciri-ciri periwayatan pada masa ini yaitu mereka tidak segera menerima
dan meriwayatkan hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu orang saja, kecuali
telah terbukti kebenarannya. Untuk membuktikan kebenaran ini, Abu Bakar meminta kepada periwayat untuk
menghadirkan saksi, sedangkan Ali meminta kepada periwayat untuk bersumpah atas
kebenaran hadis itu. Umar melakukan keduanya dengan maksud untuk berhati-hati.
3.
Melarang Periwayatan Hadis yang melampaui batas
pemahaman umat
Langkah yang ditempuh
oleh para sahabat ini adalah mewarisi cara nabi dalam menyampaikan ajarannya yaitu
sangat memperhatikan kadar kemampuan dan pemahaman sahabat.
b.
Masa sesudah Al Khulafaur Ar Rosyidun
Periwayatan hadis pada masa sesudah Al Khulfaur Ar Rosyidun semakin
banyak dan meluas. Hadis yang dimiliki para sahabat tidak seluruhnya langsung
diterima dari nabi. Kadang mereka memperolehnya dari sahabat lain bahkan dari
Tabi’in.
Berhubung semakin meluasnya wilayah Islam dan tersebarnya para sahabat penerima
dan saksi hadis, maka dalam masa ini mulai muncul kisah pengembaraan periwayat
hadis untuk mendapatkan atau mencocokan satu hadis. Misalnya pengembaraan yang
dilakukan oleh Abu Ayyub Al Ansariy dari daerah hijaz menuju ke Mesir untuk
mencari sebuah hadis dari Uqbah bin Amir. Juga Jabbir bin Abd Allah yang
mengadakan perjalanan selama satu bulan dari Madinah ke Syam untuk mendapatkan
hadis dari Abd Allah bin Unais tentang qisas.
Namun dalam
kenyataannya periwayatan yang menyebar di antara mereka tetap berada pada dua
jalur, yaitu ar riwayah bi al lafz dan ar riwayah bi al ma’na,
karena pada dasaranya dua jenis periwayatan ini telah ada sejak masa nabi.
Walaupun para sahabat berusaha ketat untuk meriwayatkan hadis (menerima dan
menyampaikan) sesuai dengan apa yang didengar dan diterima, tetapi Ar
Riwayah Bi Al Ma’na semakin berkembang pula. Hal ini bisa dimaklumi
karena jarak antara para periwayat dengan nabi sudah semakin jauh dan untuk
mengingat lafal hadis sesuai dengan yang diterima sejak awal dirasakan cukup
sulit. Kondisi diatas masih ditambah oleh fenomena belum terkodifikasikannya
hadis dalam karya khusus dan telah meluasnya wilayah islam ke berbagai penjuru.
C. Menolak Anggapan Seputar Metode Sahabat Dalam
Meriwayatkan Hadis
Al qur’an yang
merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, sejak turunnya
telah ditulis oleh para sahabat, khususnya para penulis (al kuttab) nabi SAW.
Mengingat pembacaan al qur’an dihitung sebagai ibadah, dan susunannya dianggap
sebagai mukjizat, maka periwayatanya tidak boleh secara makna. Lafal al
qur’an harus terjaga sebagaimana awal turunnya, tidak boleh ditambah dan
dikurangi, walaupun satu huruf, kata, bahkan kalimat.Tidak demikian yang
terjadi pada hadis, pada awalnya penulisan hadis masih diperselisihkan oleh
para sahabat. Ada yang membolehkan dan ada pula yang melarang.
Perlu ditegaskan bahwa
hanya hadis-hadis yang dalam bentuk sabda (hadis qouliyyah) yang dimungkinkan
diriwayatkan secara lafal, dan ini pun sangat sulit dilakukan kecuali untuk
sabda-sabda tertentu. Sedangkan hadis-hadis dalam bentuk lain yang berupa perbuatan, taqrir dan
hal ihwal nabi, diriwayatkan oleh sahabat dengan menggunakan ungkapan dari
masing-masing sahabat berdasarkan kesaksian masing-masing. Untuk itu sangat
membuka peluang terjadinya periwatan secara makna (ar riwayah bi al ma’na).
Secara garis besar pandangan ulama tentang ar riwayah bi al ma’na ini
dikategorikan pada tiga macam, yaitu ; 1. Tidak boleh secara mutlak 2. Boleh
secara mutlak dan 3. Boleh dengan syarat.
1.
Ulama yang tidak membolehkan Ar Riwayah Bi Al
Ma’na
Abd Allah bin Umar, dia termasuk mutasyaddid dalam menjaga lafal
hadis nabi, sehingga dia tidak menambah dan mengurangi huruf atau kata
dan tidak pula mendahulukan atau tidak mengakhirkannya. Diriwayatkan dari Muhammad
bin Ali, dia berkata,” Ibnu Umar, jika mendengar hadis, dia tidak menambah atau
mengurangi dan tidak pula meringkasnya.”
Dalam suatu riwayat, dia pernah menegur sahabat lain ‘Ubaid Allah bin Umair
yang mengganti lafal asy syat al ‘airah (domba yang cacat) dengan lafal asy
syat ar rabidah (domba yang lemah).
2.
Membolehkan secara mutlak
Pendapat yang kedua yaitu membolehkan ar riwayah bi al ma’na secara
mutlak tanpa diiringi dengan syarat-syarat tertentu. Mereka ini termasuk
golongan mutasahil dalam periwayatannya, berbeda dengan pendapat yang pertama
yang sangat ketat atau mutasyaddid.
Pendapat ini merupakan bentuk yang terlarang, karena dengan kesembronoan
dan ketidak hati-hatian dalam periwayatan akan menimbulkan perubahan-perubahan
lafal yang menyebabkan perubahan makna. Namun demikian, praktik seperti ini
telah ada dan berkembang. Periwayatan yang termasuk dalam kelompok ini adalah
Hasan al Basriy (w. 110), Asy sya’biy (w. 104), Ibrahim an Nakhaiy (w. 96).
3.
Membolehkan dengan menekankan pemenuhan syarat
Bentuk yang ketiga ini lebih bersifat sebagai penengah (mutawassit)
antara bentuk yang mutasyaddid dan mutasahil. Supaya periwayat
tidak mengalami kesulitan dan merasakan keberatan dalam meriwayatkan hadis
disebabkan oleh sangat ketatnya aturan-aturan dan tidak terlalu sembrono dan
lengah disebabkan oleh longgarnya ketentuan yang ada, maka gologan yang ketiga
ini memberikan solusi dengan mengajukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
periwayat ketika meriwayatkannya secara makna.
Selanjutnya, mereka
menganggap bahwa ar riwayah bi al ma’na merupakan rukhsah bagi
periwayat dalam keadaan darurat, misalnya lupa lafal aslinya.
Al Mawardiy mengatakan bahwa ar riwayah bi al ma’na di perbolehkan jika
periwayat yang bersangkutan lupa lafalnya. Menurutnya ;
“Hadis itu mencakup lafal dan makna dan jika tidak mampu menyampaikan salah
satunya, hendaknya disampaikan dengan yang lain. Dengan tidak menyampaikan
apapun, seseorang dianggap menyembunyikan ilmu dan hukum. Namun jika tidak
lupa, maka tidak boleh menyampaikannya selain dengan lafal yang didengar,
karena kalam nabi mengandung fasahah, tidak seperti lainnya.”
[4] Di kutib
dari Ahmad Amin, Islam dari Masa ke masa, (Bandung; CV Rusyda, 1987,
cetakan pertama), hlm.62
0 komentar:
Posting Komentar