Diberdayakan oleh Blogger.
Tagged under:

Hermeneutika


A . Asal-usul dan Pengertian Hermeneutika
         Sebelum kita mendefinisikan hermeneutika, kita akan mengetahui terlebih dahulu asal-mula kata hermeneutika. Sudah umum diketahui bahwa dalam masyarakat Yunani tidak terdapat suatu agama tertentu, tapi mereka percaya pada Tuhan dalam bentuk mitologi. Sebenarnya dalam mitologi Yunani terdapat dewa-dewi yang dikepalai oleh Dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes[1]. Hermes dipercayai sebagai utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di langit. Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutic kemudian digunakan.[2] Kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan sebuah teks.
Hermes diyakini oleh Manichaeisme sebagai Nabi. Dalam mitologi Yunani, Hermes yang diyakini sebagai anak dewa Zeus dan Maia bertugas menyampaikan dan menginterpretasikan pesan-pesan dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang dipahami manusia. Hermes/Thoth adalah sekretaris Tuhan atau orisin Tuhan yang telah menulis disiplin kedokteran, sihir, astrologi dan geometri.
Sosok Hermes Menurut legenda yang beredar bahwa pekerjaan Hermes adalah sebagai tukang tenun. Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang peran dewa Hermes, ternyata terdapat korelasi positif. Kata kerja “memintal” dalam bahasa latin adalah tegree, sedang produknya disebut textus atau text, memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika. Bagi Dewa Hermes, persoalan yang pertama dihadapi adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang memakai “bahasa langit” agar bisa dipahami oleh manusia yang menggunakan bahasa “bumi”. Di sini barangkali terkandung makna metaforis tukang pintal, yakni memintal atau merangkai kata dan makna yang berasal dari Tuhan agar nantinya pas dan mudah dipahami (dipakai) oleh manusia,[3] sedangkan Hermeneutika  secara bahasa punya makna menafsirkan. Seperti yang dikemukakan Zygmunt Bauman, hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneutikos berkaitan dengan upaya “menjelaskan dan memelusuri” pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.
Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermēneuein (menafsirkan) atau kata benda hermēneia (interpretasi).[4] Al-Farabi mengartikannya dengan lafal Arab al-‘ibāroh (ungkapan).[5] Kata Yunani hermeios mengacu kepada seorang pendeta bijak Delphic. Kata hermeios dan kata kerja hermēneuien dan kata benda hermēneia biasanya dihubung-hubungkan dengan Dewa Hermes, dari situlah kata itu berasal. Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk apa yang dapat ditangkap oleh intelegensia manusia.[6] Kurang lebih sama dengan Hermes, seperti itu pulalah karakter dari metode hermeneutika.
Dengan menelusuri akar kata paling awal dalam Yunani, orisinalitas kata modern dari “hermeneutika” dan “hermeneutis” mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses.[7]
Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar dari hermēneuien dan hermēneia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja dari hermēneuein, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”; (2) menjelaskan; (3)menerjemahkan. Ketiga makna itu bisa diwakilkan dalam bentuk kata kerja bahasa Inggris, “to interpret.” Tetapi masing-masing ketiga makna itu membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi.[8]
Sebagai turunan dari simbol dewa, hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks. Dalam Webster’s Third New International Dictionary dijelaskan definisinya, yaitu “studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi; khususnya studi tentang prinsip-prinsip umum interpretasi Bibel.”  Setidaknya ada tiga bidang yang sering akrab dengan term hermeneutika: teologi, filsafat, dan sastra. [9]
Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika: hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis. Pertama, hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini menitikberatkan kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Kedua, hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks. hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya
Sedangkan. Menurut Richard E. Palmer, definisi hermeneutika setidaknya dapat dibagi menjadi enam. Sejak awal, hermeneutika telah sering didefinisikan sebagai ilmu tentang penafsiran (science of interpretation)[10] Akan tetapi, secara luas, hermeneutika juga sering didefinisikan sebagai:
1.   Teori penafsiran Kitab Suci (theory of biblical exegesis).
2.   Hermeneutika sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology).
3. Hermeneutika sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of all linguistic understanding).
4.   Hermeneutika sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological foundation of Geisteswissenschaften).
5. Hermeneutika sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of existence dan of existential understanding).
6. Hermeneutika sebagai sistem penafsiran (system of interpretation). Hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun secara personal, untuk memahami makna yang terkandung dalam mitos-mitos ataupun simbol-simbol.
Keenam definisi tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan pendekatan yang sangat penting didalam problem penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing, mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan, dari tindakan manusia menafsirkan.
BSejarah Perkembangan Hermeneutika
Dalam sejarah perkembangan hermeneutika pada abad pertengahan. Hermeneutika dikatakan sebagai sebuah disiplin yang di perlukan untuk menafsirkan kitab suci Bibel. Khususnya kegunaan hermeneutika ini muncul akibat ‘’perbedaan’’ pendapat antara dua golongan Kristen yang muncul di akhir abad tengah Eropa : Katolik sebagai pemegang status qou  dan Protestanisme sebagai pembawa gerbong pembaharuan. Di wilayah penafsiran dogma-dogma keagamaan, status quo tetap berpegang pada tradisi yang sudah ada semenjak iman Kristiani ‘’lahir’’, bahwa Bibel mestinya selalu ditafsirkan dan di jelaskan kepada gembala awam oleh mereka yang terlatih dan punya otoritas sacral. Di lain pihak, gerakan reformasi yang di gawangi oleh Martin Luther, menganggap hal ini tidak mungkin, karena kepala memang sama berbulu, namun pendapat tentang apa yang disebut Bibel ‘’boleh’’ saja berbeda-beda. Manusia yang punya Iman dan mau membaca kitab suci lah yang berhak menafsirkan kandungannya. Inilah pengertian sola scriptura.[11]
Dalam risalah De doctrina Christiana, karangan Santo Agustinus, mengemukakan konsep-konsep penting menyangkut hubungan antara bahasa dan pikiran manusia dengan melandaskan diri pada doktrin inkarnasi dala tradisi Kristen. Konsep tersebut adalah actus signatus dan actus exercitus. Kedua konsep ini lahir dari dua macam ‘’kata’’ yakni antara kata yang di ucapkan dan kata yang ada dalam pikiran. Ketika seseorang mengucapkan sebuah kata, saat itu yang dilakukannya adalah member tanda (actus signatus) terhadap apa yang dia maksudkan dalam pikirannya, buah pikiran yang ada dalam pikirannya tersusun dalam bentuk kata-kata batiniah. Kata-kata batiniah ini bentuknya sangat abstrak dan hanya bias di pahami dalam konteks yang juga bersifat batiniah, ketika ingin di ungkapkan keluar melalui ucapan, ketika itu yang di pilih adalah kata jasmani dan tindakan itu disebut actus signatus. Bagaimana memilih kata-kata batin tadi kemudian mengungkapkannya inilah yang disebut Agustinus dengan actus exercitus. Diri sendiri berusaha melakukan semacam penafsiran terhadap kata-kata batin dan kemudian ‘’menerjemahkannya‘’ ke dalam kata jasmani. Begitu pula keaadaannya jika orang lain (pendengar) ingin mengerti apa sesungguhnya yang dimaksud oleh pembicara/penulis lewat sebuah kata yang di ucapkannya, maka dia harus berusaha sampai kepada bentuk kata-kata yang ada dalam pikirannya dengan melakukan actus exercitu. 
A.    Hubungan antara hermeneutika dengan ilmu filsafat Bahasa
 Hermenetik menurut pandangan kritik sastra ialah Sebuah metode untuk memahami teks yang diuraikan dan diperuntukkan bagi penelaahan teks karya sastra. Hermenetik cocok untuk membaca karya sastra karena dalam Kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkut paut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra–terutama dalam prosesnya–pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperoleh pemahaman yang memadai. Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu “menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam. Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai.
Karya sastra dalam pandangan hermeneutic ialah sebagai objek yang perlu di interprestasikan oleh subjek (hermeneutik). Subjek dan objek tersebut adalah term-term yang korelatif atau saling bertransformasi satu sama lain yang sifatnya merupakan hubungan timbal balik. Tanpa adanya subjek, tidak akan ada objek. Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh perhatiaan pada subjek itu. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan pandangan subjek. Hussrel menyatakan bahwa objek dan makna tidak akan pernah terjadi secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu netral. Meskipun arti dan makna muncul sesudah objek atau objek menurunkan maknanya atas dasar situasi objek, semuanya adalah sama saja. Maka dari sinilah karya sastra dipandang sebagai lahan (objek) untuk ditelaah oleh hermeneutic supaya muncul interpretasi pemahaman dalam teks karya satra tersebut.
Bahasa dalam pandangan hermeneutic sebagai medium yang tanpa batas, yang membawa segala sesuatu yang ada didalamnya, termasuk karya sastra yang menjadi objek kajiaannya. Hermenetik harus bisa bergaul dan berkomunikasi dengan baik dengan bahasa supaya tercipta transformasi di dalamnya terutama dalam membedah teks karya sastra. Disamping hermeneutic harus bisa menyesuaikan diri dengan bahasa sebagai kupasan-kupasan linguistic, supaya tercipta aturan tatabahasa yang baik dan memudahkan langkah kerja hermeneutic dalam memberikan interpretasi dan pemahaman yang optimal terhadap tkes karya sastra.
Pendekatan hermeneutic merupakan suatu cara untuk memahami agama (teks kitab suci). Pendekatan ini dianggap tepat dalam memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa diantara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra. Pada tahap tertentu teks agama sama dengan teks karya sastra. Perbedaannya, merupakan kebenaran keyakinan, sastra merupakan kebenaran imajinasi, agama dan sastra adalah bahasa, baik lisan maupun tulisan. Asal mula agama adalah firman tuhan, asal mula sastra adalah kata-kata pengarang. Baik sebagai hasil ciptaan subjek illahi maupun subjek creator, agama dan sastra perlu di intrpretasikan/ditafsirkan, sebab disatu pihak seperti disebutkan diatas, kedua genre terdiri atas bahasa. Di pihak lain, keyakinan dan imajinasi tidak bisa dibuktikan, melainkan harus ditafsirkan. Pendekatan hermeneutic tidak mencari makna yang benar, melainkan mencari makna yang optimal. Dalam menginterpretasikannya, untuk menghindari keterbatasan proses interpretasi, peneliti harus memiliki titik pijak yang jelas, pada umumnya dilakukan dengan gerak spiral. Penafsiran terjadi karena setiap objek memasang setiap horizon dan paradigma yang berbeda. Pluralitas presfektif dalam memberi interpretasi pada gilirannya memberikan kekayaan makna dalam suatu karya sastra, menambah kualitas estetika, etika dan logika.
Metode penerapannya Menurut Paul Ricoeur perlu dilakukannya distansiasi atas dunia teks (objek) dan apropriasi atau pemahaman diri. Dengan perkataan lain, jika teks (objek) dipahami melalui analisis relasi antar unsurnya (struktural), bidang-bidang lain yang belum tersentuh bisa dipahami melalui bidang-bidang ilmu dan metode lain yang relevan dan memungkinkan. Agar lebih jelas, konsep dan cara kerja metode dan pendekatan yang telah diuraikan di atas dalam kaitannya dengan karya seni sebagai subjek penelitian sebagai berikut:
 a. Mula-mula teks (seni) ditempatkan sebagai objek yang diteliti sekaligus sebagai subjek atau pusat yang otonom. Karya seni diposisikan sebagai fakta ontologi.
 b.  Selanjutnya, karya seni sebagai fakta ontologi dipahami dengan cara mengobjektivasi strukturnya. Di sini analisis struktural menempati posisi penting.
 c. Pada tahap berikutnya, pemahaman semakin meluas ketika masuk pada lapis simbolisasi. Hal ini terjadi sebab di sini tafsir telah melampaui batas struktur.
 d. Kode-kode simbolik yang ditafsirkan tentu saja membutuhkan hal-hal yang bersifat referensial menyangkut proses kreatif seniman dan faktor-faktor yang berkaitan dengannya.
 e.  Kode simbolik yang dipancarkan teks dan dikaitkan dengan berbagai persoalan di luar dirinya menuntut disiplin ilmu lain untuk melengkapi tafsir.
 f.   Menurut Paul Ricoeur Hermeneutika, Sebuah Cara Untuk Memahami Teks yang pada Akhirnya, ujung dari proses itu adalah ditemukannya makna atau pesan. Dari skema tampak bahwa makna dan pesan dalam tafsir hermeneutik berada pada wilayah yang paling luas dan paling berjauhan dengan teks (karya seni sebagai fakta ontologisnya), tetapi tetap berada di dalam horizon yang dipancarkan teks.
Hermeneutik Salah satu bagian yang perlu lebih jauh dijelaskan dalam skema di atas adalah soal simbolisasi ujar Ricour. Teks, yang tidak lain adalah formulasi bahasa, adalah kumpulan penanda yang sangat kompleks. Saussure mendikotomikan bahasa sebagai penanda (citra akustis, bunyi) versus petanda (konsep). Bahasa adalah lambang yang paling kompleks dibandingkan dengan berbagai hal lain di masyarakat. Dalam kaitan dengan hermeneutika, Ricoeur kemudian menyebut metafora (pengalihan nama, perbandingan langsung, perlambangan) sebagai bagian penting untuk dibahas dalam hermeneutika. Pemahaman atas teks, menurut Ricoeur, niscaya akan berlanjut kepada pemahaman tentang metafora.
Plus minusnya. Kekurangan teori ini adalah objektifitas teori ini diragukan karena terjadi subjektifitas penafsir/interpreter. Maka peran interpreter sangat urgen sekali dalam memberi makna dan pemahaman terhadap teks, sebetulnya yang terpenting bagi interpreter adalah bagaimana hermeneutika itu dapat diterapkan secara kritis agar tidak ketinggalan zaman. Dalam konteks ini, barangkali interpreter perlu menyadari bahwa sebuah pemahaman dan interpretasi teks pada dasarnya bersifat dinamis.
Menurut Pandangan Lefevere bahwa hermeneutika tidak dapat dipakai sebagai dasar ilmiah studi sastra atau sebagai metode pemahaman teks sastra yang utuh, sebenarnya cukup beralasan karena dalam kenyataannya sastra membutuhkan pemahaman yang kompleks-yang berkaitan dengan teks, konteks, dan kualitas pembaca (interpreter).
Kelebihan teori ini ialah memberikan interpretasi terhadap kajian dalam teks sastra secara terus-menerus, karena interpretasi terhadap teks itu sebenarnya tidak pernah tuntas dan selesai. Dengan demikian, setiap teks sastra senantiasa terbuka untuk diinterpretasi terus-menerus. Proses pemahaman dan interpretasi teks bukanlah merupakan suatu upaya menghidupkan kembali atau reproduksi, melainkan upaya rekreatif dan produktif. Konsekuensinya, maka peran subjek sangat menentukan dalam interpretasi teks sebagai pemberi makna. Oleh karena itu, kiranya penting menyadari bahwa interpreter harus dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dimunculkan oleh objek tersebut kepadanya.
Secara keseluruhan, dapatlah dinyatakan bahwa hermeneutika memang dapat diterapkan dalam interpretasi sastra. Dalam interpretasi sastra, hermeneutika tidak lagi hanya diletakkan dalam kerangka metodologis, tetapi ia sudah mengikuti pemikiran hermeneutika mutakhir yang berada dalam kerangka ontologis. Ini kaitannya dengan Tiga varian hermeneutika (tradisional, dialektik, dan ontologis).


[1][1] Di kutib oleh Inyiak Ridwan Muzir dalam bukunya Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer: di dalam literatur-litelatur pengantar hermeneutika yang banyak beredar, sering dinyatakan bahwa katahermeneutika berkaitan dengan kata ‘’Hermes’’ nama salah satu dewa dalam mitologi Yunani, bahkan ada juga sebagian kalangan yang mengidentifikasikannya dengan Nabi Idris dalam tradisi Islam. Namun, sejauh pelacakan P. Chantraine, pengarang kamus Dictionnaire etymologique de la langue grecque, nama Hermes ternyata tidak ada sangkut pautnya dengan seni (ermeneutike). Lihat Jean Grondin,  Sources of Hermeneutics (New York: SUNY Press 1995), hlm. 21 (catatan kaki no. 8)
[3]  Keraguan ini adakalanya juga muncul ketika dihadapkan pada berbagai dokumen yang saling berbeda penjelasannya mengenai hal yang sama sehingga pembaca harus bekerja melakukan kajian untuk menemukan sumber-sumber yang otentik serta pesan yang jelas. Ibid 
[4] Richard E. Palmer,Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi (Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),  h. 14
[6] Richard E. Palmer, op.cit., h. 15.
[7]  Ibid
[8]  Lihat ibid., h. 15-16.
[9]Http://idhimakalah.wordpress.com/2007/11/22/hermeneutika-ontologi-eksistensial-heidegger.
[10] Richard E. Palmer,Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi (Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),  h. 3.,
[11] Inyiak Ridwan Muzir,  Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer, Jogjakarta : AR-RUZZ MEDIA Cet. II , November 2010, hlm. 67

Tagged under:

Pengertian, dasar-dasar dan sejarah timbulnya “Ilmu Kalam”


1
1.      Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain : ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh al-akbar dan teologi islam. Disebut dengan ilmu ushuluddin karena, ilmu ini membahas pokok-pokok agama dan disebut ilmu tauhid karena, ilmu ini membahas keesaan Allah SWT, juga asma’ dan afal Allah yang wajib, mustahil dan jaiz, juga sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi rasul-Nya.
Secara objektif ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, tetapi argumentasi ilmu kalam lebih dikosentrasikan pada penguasaan logika. Abu Hanifah menyebut ilmu ini fiqh al-akbar. Menurut persepsinya, hokum islam yang kenal dengan istilah fiqih terbagi atas dua bagian. Pertama, fiqh al-akbar, membahas pokok-pokok agama. Kedua, fiqh al-asghar, membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabangnya saja.
Teologi islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari bahasa inggris, Theology. William L.Reese mendefinisikan dengan “discourse or reason concerning God” (diskursus atau pemikiran tentang ketuhanan). Dengan mengutip kata-kata William Ockham, Reese lebih jauh mengatakan,”Theology to be a discipline resting on revealed truth and indepent of both philosophy and science” (teologi merupakan disiplin ilmu yang membicarakan tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan).
Apabila memperhatikan definisi di atas, ilmu kalam secara sederhana bisa disebut sebagai ilmu yang berbicara mengenai aspek-aspek ketuhanan, sejarah pemikiran dan perbedaan ketuhanan dalam islam.

2.      Dasar-dasar Ilmu Kalam
a.         Al-Qur’an : Banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, diantaranya:
1.       قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4) ( الأخلاص  : 1-4)
2.       الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ الرَّحْمَنُ فَاسْأَلْ بِهِ  خَبِيرًا ( الفرقان :59)
Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.
3.       الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى   بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا ( الفتح :10)
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
b.        Al-Hadis : Banyak juga Al-Hadits yang menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, diantaranya:
عن أبي هُرَيْرَةَ قال كان النبيُّ صلى الله عليه وسلم بارزًا يومًا للناسِ فأَتاه رجلٌ فقال : ما الإيمان قال : الإيمان أن تؤمنَ بالله وملائكتِهِ وبلقائِهِ وبرسلِهِ وتؤمَن بالبعثِ قال : ما الإسلامُ قال : الإسلامُ أن تعبدَ اللهَ ولا تشركَ به وتقيمَ الصلاةَ وتؤدِّيَ الزكاةَ المفروضةَ وتصومَ رمضانَ قال : ما الإحسان قال : أن تعبدَ الله كأنك تراهُ، فإِن لم تكن تراه فإِنه يراك قال : متى الساعةُ قال : ما المسئولُ عنها بأَعْلَم مِنَ السائل، وسأُخبرُكَ عن أشراطِها؛ إِذا وَلَدَتِ الأَمَةُ رَبَّهَا، وَإِذا تطاولَ رُعاةُ الإبِلِ البَهْمُ في البنيان، في خمسٍ لا يعلمهنَّ إِلاَّ الله ثم تلا النبيُّ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّ الله عنده علم الساعة ) الآية : ثم أدبر فقال : رُدُّوه فلم يَرَوْا شيئاً فقال : هذا جبريل جاءَ يُعَلِّمُ الناسَ دينَهم . متفق عليه
“ Dari Abi Hurairah ia berkata: Suatu hari Nabi SAW. nampak di tengah manusia, lalu seorang laki-laki mendatanginya dan bertanya: “Apakah iman itu?” Rasul menjawab: “Iman ialah engkau percaya pada Allah, Malaikat-Nya, bertemu dengan-Nya, Rasul-Nya dan bangkit dari kubur (hari kiamat). Lelaki itu bertanya lagi: “Apakah Islam itu?”. Rasul menjawab: “Islam adalah Engkau menyembah Allah dan jangan menyekutukan-Nya, dirikanlah shalat, tunaikan zakat fardhu, dan berpusa bulan Ramadhan”. Lelaki itu bertanya lagi: “Apakah Ihsan itu?”. Rasul menjawab: “Hendaklah engkau beribadah/menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Allah, lalu jika engkau tak melihat-Nya ketahuilah sesungguhnya Dia melihatmu”. Lelaki itu bertanya lagi: “Kapan terjadi hari kiamat?”: Rasul menjawab: “Tidaklah orang yang ditanya tentang hal ini (rasul) lebih mengetahui jawabannya dari si penanya, aku akan jelaskan tentang tanda-tanda kiamat (ialah): apabila seorang budak melahirkan tuannya, apabila para penggembala binatang ternak telah berlomba bermegah dalam bangunan, ia termasuk lima hal yang tak seorangpun mengetahuinya kecuali Allah”, lalu Rasul membaca ayat : إِنَّ الله عنده علم الساعة sampai ayat terahir. Lalu lelaki itu pergi dan Nabipun berkata kepada para sahabat: “Panggillah lelaki itu”, tetapi tak seorangpun dari sahabat melihatnya lagi. Lalu Nabi berkata: “Lelaki itu adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan kepada manusia tentang agama”. (HR. Bukhari dan Muslim)
c.         Pemikiran Manusia
Pemikiran manusia dalam hal ini, baik berupa pemikiran umat islam sendiri atau pemikiran luar umat islam. Sebelum filsafat masuk dan berkembang di dunia islam, umat islam sendiri telah menggunakan pemikiran rasionya untuk menjelaskan ayat-ayat al-quran yang masih samar. Ternyata keharusan menggunakan rasio telah mendapat pijakan dari beberapa ayat al-quran salah satunya:
(أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا ( محمد : 24
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci?.
Adapun sumber ilmu kalam yang berasal dari pemikiran luar umat islam dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori. Pertama, pemikiran non muslim yang telah menjadi peradapan lalu di transfer dan diasimilasikan dengan pemikiran umat islam. Kedua, berupa pemikiran-pemikiran nonmuslim yang bersifat akademis seperti filsafat (terutama dari Yunani) sejarah dan sains.
d.        Insting Manusia
Secara instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Karenanya, kepercayaan adanya Tuhan berkembang sejak adanya manusia pertama. Menurut Abas Mahmoud Al-Akkad, mitos merupakan asal-usul agama dikalangan primitif. Tylor, justru mengatakan bahwa animisme (anggapan adanya kehidupan pada benda mati) merupakan asal-usul keperyacaan kepada Tuhan, adapun Spencer mengatakan lain lagi. Ia mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek moyang merupakan bentuk ibadah paling tua.

3.      Sejarah Timbulnya Ilmu Kalam
Rasulullah SAW, selama di Mekkah mempunyai fungsi sebagai kepala agama. Setelah hijrah ke Madinah fungsinya bertambah juga menjadi kepala pemerintah. Beliaulah yang mendirikan politik yang di patuhi oleh kota ini, sebelum itu di Madinah tidak ada kekuasaan politik. Setelah wafatnya rasulullah, rosulullah digantikan dengan Abu Bakar, lalu Umar bin Khattab selanjutnya digantikan Usman lalu Ali bin Abi Tholib.
Usman merupakan khalifah berlatarbelakang pedagang kaya raya. Tetapi, ahli sejarah mengatakan bahwa Usman termasuk khalifah yang lemah, karena tidak dapat menentang keluarganya yang berpengaruh berkuasa di pemerintahan. Sehingga mereka menjadi gubernur-gubernur di daerah kekuasaan islam dengan mengganti gubernur-gubernur yang dulu diangkat oleh Umar bin Khottob yang dikenal kuat dan tak memikirkan keluarga. Tindakan politik Utsman memecat gubernur-gubernur angkatan Umar, memancing reaksi yang tidak menguntungkan baginya. 500 orang memberontak di mesir sebagai reaksi atas diberhentikannya gubernur Umar bin ‘Ash yang diangkat Umar dan digantikan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sar dari kelurga Utsman yang berujung tewasnya Utsman bin Affan.
Setelah Utsman wafat, kekhalifahan diganti Ali bin Abi Thalib. Tetapi segera dia mendapat tantangan dari Tholhah dan Zubair dari mekkah yang mendapat dukungan dari Siti Aisyah. Gerakan ini dapat dipatahkan oleh Ali dalam pertempuran di Irak tahun 656 M. Tholhah dan Zubair mati terbunuh dan Aisyah maih hidup lalu dikirim kembali ke mekkah. Tak cuma di sini, tantangan berikutnya muncul dari Mu’awiyah, gubernur Damaskus dan keluarga dekat Utsman. Sebagaimana Tholhah dan Zubair, dia tidak mengakui Ali sebagai kholifah. Ia menuntut kepada Ali supaya menghukum para pembunuh Utsman, bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan soal Ustman. Salah seorang pemberontak mesir yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Utsman adalah Muhammad Ibnu Abi Bakar yang tidk lain adalah anak angkat dari Ali. Dan pula Ali tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Ali mengangkat Muhammad Ibnu Abi Bakar menjadi gubernur mesir.
Terjadi pertempuran antara pasukan Ali dan mu’awiyah di Shiffin, mu’awiyah terdesak, Amr bin ‘Ash tangan kanan mu’awiyah mengangkat al-Qur’an ke atas sebagai tanda ajakan damai. Para Qurro dari kalangan Ali menganjurkan untuk menerima sebagian pasukan Ali menganjurkan menolaknya tetapi Ali memilih menerima. Dan dengan demikian, dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitrase. Sebagai pengantara diangkat dua orang : Amr bin ‘Ash dari mu’awiyah dan Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak Ali. Sebagai yang lebih tua Abu Musa maju terlebih dahulu dan mengumumkan kepada orang ramai, putusan menjatuhkan kedua pemuka. Berlainan dengan Amr bin ‘Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali, tetapi tidak penjatuhan mu’awiyah. Bagaimanapun peristiwa ini merugikan Ali dan menguntungkan mu’awiyah sebagai kholifah  yang ilegal.
Terhadap sikap Ali yang mau mengadakan arbitrase menyebabkan pengikut Ali terbelah menjadi dua yakni golongan yang menerima arbitrase dan golongan yang sejak semula menolak arbitrase, yang menolak berpendapat bahwa hal itu tidak dapat diputuskan lewat arbitrase manusia. Putusan hanya datnag dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum Allah dalam al-Qur’an, la hukma illa lillah(tidak ada hukum selain hukum dari Allah) la hakama illa Allah (tidak ada pengantara selain Allah). Mereka menyalahkan Ali dan karenanya keluar serta memisahkan diri dari barisan Ali (disebut kaum Khawarij).
Kaum khawarij memandang para pihak yang menerima arbitrase yaitu Ali, Mu’wiyah, Amr bin ‘Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari sebagai kafir dan murtad karena tidak berhukum kepada hukum Allah berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maidah 44, karenanya halal dibunuh:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Tagged under:

علاقات الإنسانية فى المجتمع


                                                                                    
الحمد لله الكريم المنان، ذى الطول،  الّذى كَرمنا بتعاليم الإسلام ، ومنّ علينا بإرساله إلينا أكرم خلقه و أفضلهم لديه، حبيبَه وخليلَه عبدَه ورسولَه محمدا صلى الله عليه و سلم، فمحا به عبادةَ الأوثان، وأكرمه صلى الله عليه و سلم بالقرأن المعجزة المستمرة على تعاقب الأزمان، رسول اهتمّ بعلاقة إنسانية، وأشهد أنّ سيدنا محمدا عبده و رسوله الداعي إلى الإيمان، صلى الله عليه وسلم، وعلى أله وصحبه و ما تعاقب الجديدان، أما بعد
أيها الحاضرون الكرام. هيئة التحكيم الأعزاء....
و مدير الجلسة الذى قد أتاح لى فرصة ثمينة لألقي كلمة أو كلمتين عما يتعلق بالتربية القرأنية فى العلاقات الإنسانية فى المجتمع.
أوّلا حيا بنا نشكر الله تعالى الذى قد أعطانا نعماكثيرة حتى نستطيع به الإجتماع فى هذه البقاع المباركة، ثانيا نصلى ونسلم على خير الأنام سيدنا محمد عليه أفضلُ الصلوات و البركات والسلام الذى أكرمه الله بكتابه أفضلِ الكلام، و به نستطيع أن نفرق الحق والباطل، حسنَ الخلق  وسوؤه؟
أيها الحاضرون الأعزاء.....
كما قد علمتم أن الله قد منّ على هذه الأمة بالقرأن المحفوظ من كل تزييف، و جمع فيه جميع ما يحتاج إليه البشر من مواعظَ و أمثال، و أداب و ضروب الأحكام لتنظيم حياتهم و حلِّ مسائل حياتهم للسعادة الدنيوية والأخروية.
إخواني فى الله...
 و لكنا رأينا اليوم أنّ معظم المسلمين فى هذا الوطن قد اهملوا و تركوا  إحدى التربيات المهمة فى القرأن وهي العلاقات الإنسانية فى المجتمع،  فيتحول به الأخوّة إلى الخصومة، فيقتل الناس بعضهم بعضا بغير حق  كأن الروح رخيصة لا قيمة لها، النساء يفضلن العري، ولايحفظن فروجهن، يتاجرن البدن،و من جانب أخر نرى الناس لا يتعاون بعضُهم مع بعض على البر والتقوى، يفكر فى نفسه، زهرة الدنيا تنسيهم  أحوال اخوانهم الضعفاء والفقراء، الغاية الفردية تبرر الوسائل، كذبوا و خدعوا إخوانهم، هذه النذالة كلها تسيء حالة الوطن، ،كيف تقدم وطننا المحبوب و انحط أخلاقهم؟ هيهات،
ولذلك أيها الحاضرون...
 فى هذه الخطابة سألقى لكم العلاجات التى قد أعدها القرأن الكريم لمواجهة هذه النذالة تعليميا و تربويا، ليتحقق المجتمع الإسلامى آمِنا وصالحا  :
العلاج الأول : الأخوة : هذه الأخوة التى من أجلها، قاسم المهاجرون الأنصار ديارهم و أموالهم، حتى كان البعض يؤثر غيره بشيء هو فى حاجة ماسة إليه، و قال الله تعالى : " إنّما المؤمنين اخوة" و فى اية اخرى قال تعالى " و يؤثرون على أنفسهم و لو كان فيهم خصاصة:"وإذا صحّ ان المسلمين تَرْبُطهم الأخوة فى الله، فلا يليق بهم أن يتفرقوا و يختلفوا و قال الله تعالى :"ولاتكونوا كالذين تفرقوا واختلفوا من بعد ماجاءهم البينات"
العلاج الثاني : احترام حق الحياة : فالإسلام يصون النفس البشرية، ويحفظ عليها الحياة ويحرِّم قتلها بغير حق، قال الله تعالى : "و من يقتل مؤمنا متعمدا فجزاؤه جهنم خالدا فيها وغضب الله عليه ولعنه و أعدّ له عذابا عظيما"
العلاج الثالث: احترامُ وصيانة الأعراض، وقد كفلت شريعة الإسلام ما يصون الأعراض عن الإنتهاك بالزنا او بالقذف وقد وضعت بذلك الحقوق و الأحكام، والعقوبات المتفاوتة وِفْقا لطبيعة كل فعل، قال الله :"الزانية والزانى فاجلدوا  كل واحد منهما مائة جلدة"
العلاج الرابع :مبدأ الشورى : من سمات الإسلام أن جعل علاقاتِ المسلمين بعضِهِمْ ببعض تقوم على مبدأ الشورى، وقد مدح الله هذا المبدأ فى السورة المسماة بهذا المبدأ العظيم، قال الله : "و الذين استجابوا لربهم و أقاموا الصلاة وأمرهم شورى بينهم و مما رزقناهم ينفقون"
العلاج الخامس : الصدق: حث الإسلام على التزام  المسلمين للصدق فى كل أقواله، فلايجعل للكذب عليه سبيلا، وذلك حتى تكونَ علاقات الناس مبنية على أساس صحيح من الصفاء و النقاء، لا خِداعَ ولازيف, قال تعالى :"يأيها الذين أمنوا اتقوا الله وكونوا مع الصادقين"
العلاج السادس : حسن الجوار : إهتم الإسلام ببناء علاقات الجوار على أسلوب الحب و الاخاء و المعاملة الحسنة. قال الله تعالى : "واعبدوا الله ولاتشركوا به شيئا، وبالوالدين إحسانا وبذى القربى واليتامى والمساكين والجار ذي القربى و الجار الجنب والصاحب بالجنب وابن السبيل وما ملكت أيمانكم ان الله لايحب من كان مختالا فخورا"
إخواني فى العقيدة.....
هذه القواعد الأساسية الواضحة الراسخة التى تكاد تلخص العقيدة الإسلامية و شريعتها الإجتماعية مبدؤة بتوحيد الله ومختومة بعهد الله، إن كان جميع المجتمع فى هذا البلاد يعاشر بعضهم بعضا بتلك المبادئ والقواعد الراسخة فتصير إندونيسيا بلدة طيبة وسيكون الله غفورا،
هذا ماقد ألقيت لكم، أخير الكلام،  ثم السلام عليكم ورحمة الله




Tagged under:

'Ariyah, Ghosob dan Hibah


A.    Hukum ‘Ariyah
            ‘Ariyah berasal dari kata ‘Aara yang berarti pergi dan datang kembali dengan cepat. Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat, diantaranya:
1.      Menurut Hanafiyah, ariyah ialah: “Memiliki manfaat secara Cuma-Cuma.”
2.      Menurut Malikiyah, ariyah ialah: “Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.”
3.      Menurut Syafi’iyah, ariyah adalah: “Kebolehan mengambil manfaat dari sesorang yang membebaskannya yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4.      Menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah:“kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”
5.      Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di ganti.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ariyah ialah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis).

B.     Dasar Hukum ‘Ariyah:
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutif oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Alquran ialah: “Dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.”( Terjemahan Al-Maidah:2). Selain dari Al-Quran, landasan hukum yang kedua adalah Al-Hadis, yang artinya:“barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”(Riwayat Abu Daud).
 Pada dasarnya, hukum ‘ariyah adalah sunnah. Hukum ‘ariyah terkadang bisa menjadi wajib, seperti meminjamkan pakaian agar tidak terkena sengatan panas dan dingin, meminjamkan sesuatu yang bisa menyelamatkan orang dari tenggelam, seperti tali ataupun yang lainnya, meminjamkan pisau untuk menyembelih hewan yang bisa dimakan yang mana hewan tersebut akan segera mati jika tidak langsung disembelih. Terkadang hukum ‘ariyah tersebut bisa menjadi makruh, seperti meminjamkan budak islam kepada orang kafir. ‘ariyah terkadang dihukumi mubah, seperti meminjamkan sesuatu kepada orang yang tidak terlalu membutuhkan terhadap barang yang dipinjam.
Dalam bab ‘ariyah terdapat empat rukun, diantaranya:
Ø  Mu’ir (orang yang memberi pinjaman), dengan syarat orang tersebut meminjamkan barangnya tidak merasa terpaksa atau meminjami dengan sukarela.
Ø  Musta’ir (orang yang meminjam), dengan syarat orang yang meminjam harus jelas
Ø  Mu’ar (barang yang dipinjamkan), dengan syarat barang tersebut harus halal diambil manfaatnya serta barang tersebut keadaannya tetap dan tidak mudah rusak. Jika seseorang meminjam sesuatu dan ia tidak menjelaskan barang yang akan dipinjam, seperti “Pinjamkanlah kepadaku seekor hewan”, kemudian orang yang memberi pinjaman mengatakan kepada orang tersebut “Masuklah ke dalam kandang dan ambillah sesukamu”, maka hukum ‘ariyah dalam hal tersebut dianggap sah.
Ø  Adanya sighot (baik secara lafad maupun tulisan) dengan niat ataupun isyarat yang menunjukkan perizinan untuk mengambil manfaat dari barang yang akan dipinjam tersebut. Seperti “ Saya meminjamkan ini kepadamu ” atau “ Saya perbolehkan kamu mengambil manfaat dari barang ini ” atau  
“ Kendarailah ini ” atau “ Ambillah manfaat dari benda ini “.
            Perlu diketahui bahwa orang yang meminjam suatu barang pada orang lain itu tidak diperbolehkan meminjamkan barang tersebut kepada orang lain tanpa seizin mu’ir (orang yang memberi pinjaman).
            Orang yang meminjam itu wajib menanggung kerusakan yang terdapat pada mu’ar (barang yang dipinjam) jika terjadi kerusakan. Baik dengan cara mengganti harga barang tersebut ataupun dengan cara yang lain. Adapun syarat kerusakan yang harus ditanggung itu hendaknya kerusakan barang tersebut tidak digunakan dengan semestinya, jika kerusakan tersebut terjadi ketika orang yang meminjam menggunakan barang dengan semestinya, maka orang itu tidak wajib menanggung kerusakan yang terjadi.
            Diperbolehkan bagi orang yang meminjam maupun orang yang memberi pinjaman melakukan pencabutan kembali pada akad ‘ariyah, baik yang mutlak maupun yang dibatasi masa (waktu). Jika ada seseorang meminjam tanah untuk mengubur mayat (selain mayat orang yang murtad dan kafir harby), ketika si mayat sudah diletakkan di dalam liang lahat, maka bagi musta’ir ataupun mu’ir boleh melakukan pencabutan akad dalam hal ‘ariyah tersebut, dengan syarat si mayat belum ditimbuni dengan tanah, Jika si mayat sudah ditimbuni dengan tanah hingga setelah hancur tubuhnya, maka tidak diperbolehkan melakukan pencabutan akad (‘ariyah).
            Suatu permasalahan, apabila ada seseorang meminjam tanah untuk ditanami atau didirikan bangunan di atasnya, maka hal itu hanya boleh dilakukan sekali, jika bangunan itu sudah dibongkar atau tanaman itu telah hilang, maka orang yang meminjam tidak berhak membangun dan menanami untuk kedua kalinya, kecuali setelah ia mendapatkan izin baru untuk hal itu, ataupun telah ia jelaskan terlebih dahulu bahwa ia akan melakukan untuk kedua kalinya.

C.    Bab Ghasab
            Ghasab ialah menguasai atau mengambil hak orang lain secara dholim. Hal itu bisa terjadi meskipun berupa mengambil kemanfaatan, seperti menyuruh berdiri orang yang sedang duduk di masjid atau di pasar, duduk diatas tikar seseorang tanpa memindah ke tempat lain, menaiki binatang orang lain tanpa seizin orang yang mempunyainya, memerintah budak milik orang lain, dan lain-lain. Ghasab itu termasuk dosa besar. Adapun dalil yang melarang perbuatan ghasab yaitu:
  1. Surat An Nisa ayat 29
يَأيهَا الذِينَ آمَنُوا لاَ تَأكُلُوا أمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالبَاطِلِ إلاَّ  أنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَراضٍ مِنْكُم وَلاَ تَقْتُلوُا أنْفُسَكُم إنّ الله كَانَ بِكُم رَحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, janglah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu, Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
2.      Sabda Rasulullah
          Harta seorang muslim haram dipergunakan oleh muslim lainnya, tanpa kerelaan hati pemiliknya (HR.Daruquthni dari Anas bin Malik).
      Wajib bagi orang yang mengghasab untuk mengembalikan barang yang dighasab dan menanggung barang yang mutamawwal (bisa dihargai) yang rusak dengan perhitungan harga tertinggi sejak waktu ghasab sampai rusaknya barang yang dighasab. Adapun harganya disesuaikan dengan mata uang Negara yang berlaku (di tempat terjadinya kerusakan).
Barang mitsly itu itu ditanggung dengan mengembalikan barang yang sepadan, di manapun tempatnya barang itu berada. Barang mitsly ialah barang yang bisa diukur dengan menggunakan timbangan atau takaran dan bisa dipergunakan sebagai barang pesanan, seperti kapas, tepung, air, minyak misik, tembaga, dirham, dinar, buah kurma, biji-bijian yang kering dan lain-lain. Jika tidak terdapat barang yang sepadan dan barang tersebut, maka bisa di tanggung dengan harga tertingginyayang pernah terjadi sejak ghasab hingga waktu di mana barang tersebut tidak bias didapatkan.
            Orang yang mengghasab menjadi bebas jika ia telah mengembalikan barang yang telah di ghasab kepada pemiliknya. Adapun cara pengembaliannya yaitu cukup dengan meletakkan barang yang dighasab di sebelah pemiliknya (di tempat semula), jika orang yang mengghasab tidak mengetahui ataupun lupa pemilik barang yang dighasab, maka ia bisa menyerahkan barang itu kepada qodhi ( hakim ).  

D.    Hukuman Orang yang Ghasab:
  1. Ia berdoasa jika ia mengtehui bahwa barang yang diambilnya tersebut milik orang lain.
  2. Jika barang tersebut masih utuh, maka wajib dikembalikan.
  3. Apabila barang tersebut hilang atau rusak karena dimanfaatkan maka ia dikenakan denda.
Adapun ukuran denda itu terdapat beberapa pendapat, diantaranya:
ü  Mazhab Hanafi dan Maliki: Denda dilakukan dengan barang yang sesuai atau sama dengan barang yang dighasab. Apabila jenis barang yang sama tidak ada maka dikenakan denda seharga benda tersebut ketika dilakukan ghasab.
ü  Mazhab Syafi’i: Denda disesuaikan dengan harga yang tertinggi.
ü  Mazhab Hanbali: Denda disesuaikan dengan harga ketika jenis benda itu tidak ada lagi di pasaran.
Terjadi perbedaan pendapat tentang apakah benda yang telah dibayarkan dendanya itu menjadi milik orang yang menggasabnyaataukah masih menjadi pemilik asal dari benda tersebut:
  1. Mazhab Hanafi: orang yang menggasab berhak atas benda itu sejak ia melakukannya sampai ia membayar denda.
  2. Mazhab Syafii dan Hanbali: orang yang menggasab tidak berhak atas benda yang yang digasabnya walaupun sudah membayar denda.
  3. Mazhab Maliki: orang yang mengasab tidak boleh memanfaatkan benda tersebut jika masih utuh, tetapi jika telah rusak, maka setelah denda dibayar  benda itu menjadi miliknya dan ia bebas untuk memanfaatkannya.
E.      Pengertian Hibah
Hibah berasal dari bahasa Arab. Kata ( hibah) adalah dengan huruf ha di-kasrah dan ba tanpa syiddah berarti memberikan (tamlik) sesuatu kepada orang lain pada waktu masih hidup tanpa meminta ganti. Secara etimologis berarti melewatkan atau menyalurkan, dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang yang memberi kepada tangan orang yang diberi. 


F.     Dasar Hukum Hibah
Dasar hukum hibah ini dapat kita pedomani hadits Nabi Muhammad SAW antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari hadits Khalid bin ''Adi, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya sebagai berikut :
"Barangsiapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harapkan dan meminta-minta, maka hendaklah ia menerimanya dan tidak menolaknya, karena ia adalah rezeki yang diberi Allah kepadanya". 
G.    Ruju' di dalam Hibah
Jumhur ulama berpendapat bahwa ruju’ di dalam hibah itu haram, sekalipun hibah itu terjadi di antara saudara atau suami isteri, kecuali bila hibah itu hibah dari orang tua kepada anaknya, maka ruju’nya diperbolehkan berdasarkan hukum ketentuan ini dapat ditemukan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, An- Nasa'i, Ibnu Majjah dan At-tarmidzi dan dia mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi shahih.
Dari Ibnu Abbas dan Ibnu 'Umar bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian atau menghibahkan suatu hibah, kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali hibah itu dihibahkan dari orang tua kepada anaknya Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian kemudian dia rujuk di dalamnya (menarik kembali pemberiannya), maka dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah anjing itu kenyang ia muntah, kemudian ia memakan muntah itu kembali”. 

H. Rukun Dan Syarat Sahnya Hibah
 Rukun adalah unsur persyaratan yang wajib terpenuhi dalam sebuah kegiatan (ibadah).Rukun hibah adalah sebagai berikut :
  1. Penghibah , yaitu orang yang memberi hibah
  2. Penerima hibah yaitu orang yang menerima pemberian
  3. Benda yang dihibahkan
  4. Ijab dan kabul.
Syarat - syarat yang harus dipenuhi agar suatu hibah sah adalah :
  1. Syarat-syarat bagi penghibah
a) Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah; dengan demikian tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.
b) Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan.
c) Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang akal).
d) Penghibah tidak dipaksa untuk memberikan hibah.
Apabila seseorang menghibahkan hartanya sedangkan ia dalam keadaan sakit, yang mana sakitnya tersebut membawa kepada kematian, hukum hibahnya tersebut sama dengan hukum wasiatnya, maka apabila ada orang lain atau salah seorang ahli waris mengaku bahwa ia telah menerima hibah maka hibahnya tersebut dipandang tidak sah.
2.      Syarat-syarat penerima hibah
Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang tersebut (penerima hibah) sudah lahir. Dan tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak, kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti setiap orang dapat menerima hibah, walau bagaimana pun kondisi fisik dan keadaan mentalnya. Dengan demikian memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak sah.
3. Syarat-syarat benda yang dihibahkan
a)  Benda tersebut benar-benar ada.
b)  Benda tersebut mempunyai nilai.
c) Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat dialihkan.
d) Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah.
4. Ijab Qabul
      Adapun mengenai ijab kabul yaitu adanya pernyataan, dalam hal ini dapat saja dalam bentuk lisan atau tulisan. Menurut beberapa ahli hukum Islam bahwa ijab tersebut haruslah diikuti dengan kabul, misalnya : si penghibah berkata : "Aku hibahkan rumah ini kepadamu", lantas si penerima hibah menjawab : "Aku terima hibahmu".